Ekspansi Perkebunan Sawit di Kalimantan: Penduduk Jangan Dimarjinalkan

Manusia Dayak, the first Nation of Borneo, harus menjadi subjek dan harus menikmati eksistensi perkebunan sawit besar-besaran di tanah mereka.



Kalimantan, sebagai salah satu pulau terbesar di dunia, sedang menghadapi transformasi yang mengkhawatirkan di masa depannya. 

Pulau yang kerap dijuluki “Pulau Dayak” ini diperkirakan akan menjadi salah satu pusat utama perkebunan kelapa sawit dalam skala besar. Namun, rencana ini tidak datang tanpa konsekuensi serius. 

Percepatan deforestasi karena ekspansi sawit

Percepatan deforestasi yang dipicu oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menjadi titik perhatian utama di Kalimantan, insula terbesar ketiga di dunia dengan luas hampir 750.000 km². Ketika hutan-hutan digunduli untuk memberi jalan bagi perkebunan baru, dampaknya sangat merugikan bagi keseimbangan alam yang rapuh di wilayah ini.

Penebangan kayu yang masif untuk memberi ruang bagi lahan perkebunan kelapa sawit telah mengubah lanskap Kalimantan secara dramatis. Hutan-hutan tropis yang berumur ratusan tahun dirobohkan, menyebabkan kehilangan habitat bagi flora dan fauna endemik serta mempercepat proses kehilangan keanekaragaman hayati. Selain itu, ekosistem air dan tanah juga terganggu, mempengaruhi siklus hidrologis regional dan mengurangi kualitas air.

Dampak sosial juga tidak bisa diabaikan. Komunitas adat yang bergantung pada hutan untuk kehidupan dan keberlangsungan budaya mereka terancam keberadaannya. Hilangnya hutan juga berpotensi memperburuk masalah konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan yang mengelola lahan perkebunan.

Kondisi ini semakin memperumit tantangan global dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Hutan-hutan tropis, termasuk di Kalimantan, berperan penting sebagai penyerap karbon alami. Ketika hutan digunduli, karbon yang tersimpan dalam biomassa kayu dilepaskan ke atmosfer, menyumbang pada peningkatan gas rumah kaca dan pemanasan global.

Toh demikian, bukannya tidak ada upaya untuk mengatasi isu dan masalah deforestasi ini. Inisiatif dan kebijakan yang menggalakkan keberlanjutan dalam pengelolaan hutan dan perkebunan telah diadopsi, baik oleh pemerintah maupun oleh sektor swasta. 

Upaya untuk mempromosikan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan, penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan adalah beberapa contoh langkah-langkah positif yang dilakukan.

Namun demikian, tantangan dalam mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan tetaplah besar. Perlunya kolaborasi yang kuat antara semua pihak terlibat — pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil, dan akademisi — menjadi kunci dalam menjaga Kalimantan, dan juga planet ini, agar tetap lestari bagi generasi mendatang. 

Hutan = rumah bersama

Hutan-hutan yang merupakan rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna unik, serta ekosistem yang kompleks, akan terancam punah. Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh masyarakat adat Kalimantan, terutama suku Dayak.

Mayoritas suku Dayak hidup dalam ketergantungan yang mendalam dengan tanah adat mereka dan hutan-hutan yang kini terancam oleh perkembangan proyek-proyek besar seperti perkebunan kelapa sawit. Bagi masyarakat Dayak, kehidupan mereka tidak hanya sekadar berdampingan dengan alam, tetapi terjalin dalam kesatuan yang erat dengan lingkungan sekitar.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit sering kali menyebabkan pemindahan atau marginalisasi masyarakat adat. Mereka kehilangan tidak hanya tempat tinggal dan sumber mata pencaharian tradisional, tetapi juga menghadapi ancaman serius terhadap identitas budaya yang unik. Budaya Dayak sangat terkait dengan keberadaan hutan dan sungai, yang menjadi sumber kehidupan spiritual, sosial, dan ekonomi mereka.

Di tengah tantangan ini, suku Dayak menunjukkan ketahanan budaya yang luar biasa dan semangat perlawanan yang kuat terhadap degradasi lingkungan dan ancaman terhadap hak tanah adat mereka. Mereka secara aktif mempertahankan sistem pengelolaan tanah adat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Inisiatif seperti pendirian Satuan Perlindungan Lingkungan Dayak (SPLD) adalah bukti nyata dari komitmen mereka untuk melindungi tanah adat dan lingkungan hidup mereka dari destruksi yang tidak terkendali.

SPLD bukan hanya merupakan wadah untuk menjaga keberlanjutan alam dan kehidupan masyarakat Dayak, tetapi juga sebagai platform untuk menggalang dukungan lokal dan internasional dalam perlindungan hutan dan sumber daya alam yang krusial bagi keberlangsungan kehidupan di Kalimantan.

Langkah-langkah ini mencerminkan upaya konkret masyarakat Dayak dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dan budaya mereka, serta sebagai contoh inspiratif bagi upaya konservasi di seluruh dunia.

Dayak harus jadi pelaku utama

Dalam konteks global yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan lingkungan, suku Dayak bukan hanya bertindak sebagai pelindung warisan nenek moyang mereka, tetapi juga sebagai pelaku utama dalam menjaga ekosistem Borneo yang berharga ini untuk kesejahteraan generasi mendatang. 

Melalui kolaborasi dengan pemerintah, lembaga hukum, dan organisasi lingkungan, mereka memperjuangkan pengakuan dan perlindungan yang adil terhadap hak-hak mereka atas tanah adat dan lingkungan hidup mereka. 

Dengan demikian, suku Dayak tidak hanya mempertahankan keberadaan fisik, tetapi juga spiritual dan budaya mereka, menjadikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai landasan utama dalam menjaga bumi ini tetap hijau dan lestari.

 Pembangunan perkebunan kelapa sawit sering kali menjadi pusat kontroversi di Kalimantan, dengan perdebatan antara manfaat ekonomi yang dijanjikan dan dampak lingkungan serta sosial yang mungkin terjadi. 

Prinsip "trickle down effect" seharusnya menjadi panduan utama dalam mengelola proyek-proyek ini. Tidak hanya tentang memberikan kontribusi Corporate Social Responsibility (CSR) yang terbatas, tetapi juga tentang menciptakan dampak positif yang nyata bagi masyarakat sekitar.

Di satu sisi, perusahaan-perusahaan kelapa sawit sering menawarkan CSR dalam bentuk infrastruktur atau program pendidikan yang terbatas, yang biasanya dinikmati oleh segelintir orang atau komunitas tertentu. Namun, ini sering kali tidak cukup untuk mencapai dampak yang signifikan secara keseluruhan. Masih banyak masyarakat lokal yang tidak merasakan manfaat langsung dari kehadiran perkebunan sawit di daerah mereka.

Akses jalan idealnya

Idealnya, perkebunan kelapa sawit harus mampu memberikan akses jalan yang memadai, layanan pendidikan yang berkualitas, pelayanan kesehatan yang terjangkau, jaminan sosial yang layak, serta kesempatan kerja yang adil dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Namun, kenyataannya, banyak perusahaan sawit gagal dalam memenuhi komitmen ini secara menyeluruh. 

Banyak dari mereka hanya fokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara janji manis di muka dan realitas pahit di belakangnya, di mana kebun sawit sering kali meninggalkan masyarakat lokal dalam kondisi yang tidak memadai atau bahkan merugikan.

 Penting bagi pemerintah dan perusahaan perkebunan untuk bekerja sama secara lebih baik dalam memastikan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar secara keseluruhan.

Hanya dengan pendekatan yang berkelanjutan dan inklusif, prinsip "trickle down effect" dapat benar-benar diwujudkan, sehingga kebun sawit tidak hanya menjadi sumber konflik tetapi juga sumber kebanggaan dan kesejahteraan bagi semua yang terlibat.

-- Rangkaya Bada

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post