Karakteristik Bisnis Sawit


Bisnis kelapa sawit merupakan investasi yang bersifat jangka panjang. Investasi sawit melibatkan proses yang membutuhkan waktu sebelum dapat menghasilkan keuntungan. Untuk mencapai hasil yang diinginkan di masa depan, diperlukan penanaman modal yang besar.

Dengan kata lain, sawit harus ditanam terlebih dahulu sebelum bisa dilakukan panen. Berbeda dengan pemanfaatan kayu yang mengharuskan panen terlebih dahulu sebelum menanamnya.


Panen kelapa sawit juga sangat tergantung pada investasi awal, baik dalam pemilihan bibit maupun pemberian unsur hara dan pupuk yang cukup. Kualitas bibit kelapa sawit merupakan investasi krusial karena bibit unggul akan menghasilkan buah yang berkualitas. 


Selain itu, bibit yang baik juga meningkatkan daya tahan pohon sawit terhadap kondisi lingkungan. Unsur hara juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan kelapa sawit.


Kelapa Sawit Membutuhkan 12 Jenis Unsur Hara


Kelapa sawit membutuhkan 12 jenis unsur hara baik makro maupun mikro. Setiap unsur memiliki peran masing-masing dalam perkembangan tanaman, dengan unsur utama meliputi nitrogen (N), fosfor (P), potasium (K), dan magnesium (Mg).


Sebagai tambahan, biaya pupuk merupakan sekitar 60% dari total pengeluaran untuk kelapa sawit, meskipun jumlah ini tidaklah besar. 


Oleh karena itu, penting untuk menggunakan pupuk secara efisien demi memaksimalkan hasil tanaman. Proses pemupukan harus dilakukan dengan tepat, karena kesalahan dalam pemupukan dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara yang berarti, yang pada gilirannya meningkatkan biaya belanja pupuk tanpa menjamin peningkatan hasil yang diharapkan.


Oleh karena itu, pemupukan kelapa sawit harus dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien, dengan memperhatikan prinsip 4R: jenis yang tepat, takaran yang tepat, waktu yang tepat, dan tempat yang tepat (Akvopedia.org, 2018).


Semakin banyak input yang diberikan, semakin besar pula produktivitas hasil panen. Investasi ini memerlukan biaya tinggi karena melibatkan penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan yang optimal selama 4 tahun. 


Setelah periode ini baru dapat dimulai panen buah awal, yang disebut buah pasir, sebelum akhirnya memperoleh hasil buah yang berkualitas. Dengan persiapan lahan selama 1 tahun dan menunggu 4 tahun untuk panen perdana, kelapa sawit bergantung sepenuhnya pada input investasi seperti lahan, tenaga kerja, serta sarana produksi seperti pupuk dan pestisida, selama 5 tahun pertama.


Investasi utama pertama adalah lahan. Untuk meningkatkan hasil panen, diperlukan ekspansi lahan yang lebih luas. Bahkan, keyakinan pasar dalam jangka panjang mendorong investor untuk melakukan ekspansi, bahkan membeli perkebunan yang mungkin menghadapi masalah atau memperoleh hak guna usaha. Meskipun demikian, ada upaya untuk meningkatkan efisiensi hasil per hektar guna mengurangi kebutuhan akan perluasan lahan.

Ekspansi Lahan Sawit

Pemerintah Indonesia terus memperluas areal perkebunan kelapa sawit. Indonesia menargetkan 9,25 juta hektar untuk produksi biofuel dan 2,5 hingga 4 juta hektar untuk minyak kelapa sawit. Ekspansi lahan ini disambut baik oleh para investor yang berencana untuk menginvestasikan modalnya. Menurut survei oleh Enviromarket Research pada tahun 2010, sekitar 307 perusahaan publik dari seluruh dunia telah menginvestasikan total US$ 82 miliar di sektor kelapa sawit global. 


Pada tahun 1997, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menyetujui lebih dari 600 proyek investasi perkebunan kelapa sawit, mencakup luas area sekitar 8,7 juta hektar dengan nilai US$ 23,6 miliar. Sejak tahun 2004, ekspansi kelapa sawit terus meningkat, dan antara tahun 2005 hingga 2007, industri kelapa sawit mengalami pertumbuhan pesat. Industri ini diperkirakan akan terus berkembang dengan luas lahan mencapai 10 juta hektar (Wakker, 2014, p. 7).


Investasi sawit bersifat padat tenaga dan padat modal. Dikatakan padat tenaga karena industri sawit menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 0.2 tenaga per hektar kebun tertanam. Jika ditambah dengan tenaga yang bekerja di pabrik pengolahan, transportasi, kontraktor, dan berbagai pekerjaan informal lainnya, maka industri swait akan menyerap paling tidak 0.3 pekerja per ha tertanam.


Industri sawit juga padat modal karena investasi yang harus ditanamkan cukup tinggi sampai dengan menghasilkan. Investasi dari mulai penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan selama lima tahun membutuhkan dana paling tidak 80-90 juta rupiah per hektar. Biaya ini tentu saja tidak termasuk untuk pembangunan pabrik pengolahan sawit (PKS) dan bulking station


Bulking Station adalah fasilitas penimbunan Crude Palm Oil (CPO) yang terdiri dari beberapa tangki timbun CPO yang tempatnya berada di dekat pelabuhan. Bulking bertujuan untuk mempermudah proses bongkar muat pengapalan CPO dan efisiensi waktu karena waktu sandar kapal lebih pendek serta mengontrol kualitas mutu CPO sebelum di kapalkan menuju pabrik refinery (kilang).


Lebih lanjut – industri ini hanya layak secara bisnis jika harga lahan tidak terlalu tinggi dan oleh karenanya cocok ditanam di daerah remote atau pedesaan terpencil. Industri sawit adalah industri pionir.Karena keterisoliran lahan-lahan murah tersebut maka biasanya industri sawit harus membiayai pula infrastruktur – terutama komunikasi, jaringan jalan dalam kebun, perumahan karyawan dan staff, pelabuhan dan dermaga. Di beberapa tempat pembangunan industri sawit diuntungkan dengan adanya indutri logging kayu sebelumnya.


Menggunakan Komponen Lokal


Dilihat dari sisi komponen lokalnya, industri sawit hampir seluruhnya menggunakan komponen lokal, tetapi menghasilkan produk yang siap dieksport. Unsur penting dalam industri sawit adalah tanah, air, matahari, tenaga kerja, dan pupuk. Dalam hal tenaga kerja – hampir 40% tenaga kerja bisa menyerap tenaga kerja lokal. 


Siapa pun tidak dapat menampik bahwa manfaat sawit secara finansial memang menggiurkan. Keberadaan perkebunan kelapa sawit telah membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan taraf masyarakat. Pada daerah pedalaman perkebunan sawit telah memberikan akses jalan, listrik, dan air bagi masyarakat sekitar. Kondisi tersebut juga dapat menjadi persoalan atau sengketa baik dalam masyarakat komunitas maupun dengan perusahaan. Biaya untuk itu juga harus diperhitungkan.


Sawit adalah komoditas internasional yang harganya berfluktuasi dan terpengaruh oleh keadaan pasar global. Harga yang fluktuatif dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Memang industri kelapa sawit tidak lepas dari tiga aspek utama terkait industri kelapa sawit, yaitu penawaran produksi, permintaan pasar, dan pandangan harga. Harga minyak sawit telah melonjak dan tren kenaikan akan terus berlanjut. Permintaan akan meningkat karena kombinasi faktor-faktor termasuk penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit yang lebih besar.


Untuk itu, perlu strategi keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ini akan memberi kepastian bahwa harga pasar sepadan bagi industri kepala sawit. Tingkat ekspor-impor merupakan indikator pemenuhan kebutuhan sawit global.Bagaimanapun minyak sawit telah menjadi kebutuhan ‘wajib’ dunia, baik untuk bahan bakar maupun bahan pangan. 


Permintaan Minyak Sawit Diproyeksikan Tinggi


Permintaan minyak sawit dan hasil sampingannya diproyeksikan tetap tinggi di masa depan. Hal ini disebabkan terutama oleh adanya lebih banyak perusahaan atau negara yang membatasi penggunaan minyak sawit. Cadangan global minyak sawit diperkirakan akan menurun karena pertumbuhannya yang lambat beriringan dengan peningkatan mandat biodiesel. 


Perlambatan dalam penanaman baru akibat harga rendah kemungkinan akan menyebabkan pertumbuhan produksi yang terbatas dalam beberapa tahun mendatang. Konsumsi dan ketergantungan terhadap minyak sawit sebagai pengganti minyak nabati berpotensi menyebabkan kekurangan global.


Secara keseluruhan, permintaan terus meningkat meskipun kondisi global menunjukkan kemungkinan penurunan dalam kebutuhan akan kelapa sawit. 


Pertama, Uni Eropa mengarah untuk menghapus penggunaan kelapa sawit dalam biofuel dan mungkin akan beralih ke sektor pangan. 


Kedua, reaksi konsumen di pasar Barat terhadap minyak sawit semakin meningkat karena kepedulian terhadap degradasi lingkungan dari produksinya. 

Ketiga, upaya masyarakat dalam mengurangi emisi gas rumah kaca juga berdampak pada permintaan ini. Keempat, Uni Eropa memiliki rencana untuk melarang penggunaan minyak sawit dalam biofuel pada tahun 2030.


Industri Minyak Sawit di Indonesia


Sementara di Indonesia industri minyak sawit menghadapi tantangan dari meningkatnya proteksionisme di pasar global. Seperti India yang menjadi pasar ekspor terbesar Indonesia memberlakukan tarif minyak sawit. 


Hal itu dilakukan dalam upaya melindungi pasar minyak kedelai dan minyak bunga matahari domestik. Namun demikian berbagai upaya terus dilakukan untuk memastikan permintaan yang stabil untuk minyak sawitnya dan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor global (Hirschmann, 2020).


Meskipun permintaan terus meningkat, keuntungan yang besar dari industri sawit membawa angin segar bagi pelaku industri ini. Namun, sebagai investasi, penting untuk dicatat bahwa pengembalian investasi (ROI) dari sawit membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 12 tahun. Fakta ini menegaskan bahwa investasi sawit merupakan investasi yang memerlukan modal besar, tenaga kerja intensif, dan memiliki komponen lokal yang sangat signifikan.


Industri ini juga perlu menggali kepentingan bersama melalui kerja sama dan berbagi pengalaman untuk mengatasi tantangan serta mengoptimalkan peluang. Permintaan global terhadap minyak sawit terus meningkat, mendorong peningkatan produksi global. Kehandalan minyak sawit dalam berbagai aplikasi, termasuk sebagai bahan bakar nabati, telah menjadikannya minyak nabati yang paling diminati di dunia.


Investasi dalam sawit merupakan investasi jangka menengah hingga panjang. Proses investasi memerlukan waktu awal sekitar 5 tahun, dengan pengembalian modal baru bisa dinikmati setelah 12 tahun. 


Oleh karena itu, setidaknya dalam perspektif siklus panjang selama 30 tahun, investasi sawit perlu dipertimbangkan dengan cermat. Produktivitas buah sawit yang tetap tinggi, di atas 20 ton per hektar pada usia 9 hingga 26 tahun, menunjukkan bahwa investasi besar dan jangka waktu yang panjang akan memberikan hasil yang produktif.


Meskipun tantangan-tantangan yang ada, minyak sawit tetap menjadi minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Industri sawit juga berperan besar dalam kontribusi ekonomi secara keseluruhan. 


Dengan pertumbuhan produksi global dan meningkatnya permintaan, minyak sawit memiliki prospek yang positif dalam jangka waktu yang panjang, terutama jika produksi dan pengelolaannya diatur secara sosial dan ramah lingkungan.

(Masri Sareb Putra)

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post