Moratorium Perkebunan Sawit untuk Manusia Sekitar dan Lingkungan

 

Kebun sawit photo by pixabay

Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang dominan dalam industri kelapa sawit, menguasai sekitar 85% dari total lahan kelapa sawit di dunia. 

Namun, pertumbuhan luas perkebunan sawit di Indonesia telah menjadi perhatian serius karena potensi dampaknya terhadap deforestasi.

Sejak 2011, Pemerintah Indonesia, menyadari risiko yang ditimbulkan terhadap lingkungan atas eksistensi dan ekspansi lahan perkebunan sawit. Pulau-pulau yang menjadi incaran para pengusaha sawit adalah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan papua.

Dalam upaya melindungi masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, Pemerintah yang baik mulai mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan ekspansi perkebunan sawit yang besar-besaran. 

Moratorium Perkebunan Sawit

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan Moratorium perkebunan sawit sebagai kebijakan sementara yang bertujuan untuk menghentikan atau membatasi perluasan perkebunan sawit di Indonesia.

Luas total yang ditetapkan dalam moratorium ini mencakup 5.180.053 kilometer persegi. Kebijakan ini mencerminkan komitmen untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan mengurangi dampak deforestasi yang sering kali dikaitkan dengan industri kelapa sawit.

Morstorium ini telah mengalami beberapa revisi dan perpanjangan sejak pengumuman awalnya, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki manajemen sumber daya alam dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan.

Kebijakan Pemerintah diambil sebagai respons terhadap masalah lingkungan dan deforestasi yang sering kali dihubungkan dengan industri kelapa sawit. 

Sejak pengumuman pertamanya, moratorium ini telah mengalami beberapa revisi dan perpanjangan demi mengoptimalkan dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan.

Peraturan yang Melarang dan Membatasi

Beberapa peraturan yang melarang atau mengatur perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia antara lain: 

  1. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2011 menjadi dasar bagi pemberlakuan moratorium pertama terkait perkebunan kelapa sawit, yang berlaku selama dua tahun. Moratorium ini melarang pemberian izin baru untuk perkebunan kelapa sawit di hutan primer dan lahan gambut, sementara izin tetap diberikan kepada perkebunan yang telah ada sebelum tahun 2011.
  2. Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo memperpanjang moratorium melalui Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2016 untuk periode tiga tahun. Langkah ini menegaskan komitmen Indonesia dalam melindungi hutan primer dan lahan gambut dari konversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
  3. Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 menguatkan moratorium pada tahun 2018 dengan penambahan aturan tambahan, termasuk larangan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke lahan rawa yang diklasifikasikan sebagai gambut dan lahan aliran sungai.
  4. Pada tahun 2020, Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 memperpanjang moratorium hingga tahun 2024. Peraturan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga keberlanjutan hutan primer, lahan gambut, dan ekosistem penting lainnya serta menetapkan proses yang ketat dalam pemberian izin baru untuk perkebunan kelapa sawit dengan mempertimbangkan dampak lingkungan secara mendalam.Pemerintah Indonesia juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk industri kelapa sawit dan LSM lingkungan, untuk mengawasi dan mengimplementasikan moratorium ini. 

Tujuan dan sasaran Kebijakan

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua wilayah di Indonesia sesuai untuk pertanian kelapa sawit. Meskipun terdapat persepsi bahwa seluruh wilayah Indonesia akan ditanami kelapa sawit, kenyataannya lebih kompleks secara geografis. 

Pulau Jawa, sebagai salah satu pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, mungkin tidak ideal untuk pertanian kelapa sawit. Meskipun terdapat lahan yang dapat digunakan untuk pertanaman kelapa sawit, seperti di Jawa Barat dan Provinsi Banten, terdapat sejumlah kendala yang harus diatasi. 

Tujuan kebijakan ini adalah untuk mengatasi deforestasi, melindungi ekosistem yang penting, dan mengurangi dampak negatif industri kelapa sawit terhadap lingkungan. 

Perkebunan kelapa sawit telah menjadi isu yang semakin mendapat perhatian di Indonesia. Namun, sebelum terlibat dalam industri ini, penting untuk memahami dan mempertimbangkan sejumlah faktor kunci yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit di berbagai wilayah di Indonesia. 

Produktivitas tanaman kelapa sawit di Pulau Jawa cenderung rendah, dan harga lahan yang tinggi menjadi tantangan serius bagi potensi pertumbuhannya. Kalkulasi ekonomi melibatkan banyak aspek, seperti biaya pembelian lahan, persiapan lahan, biaya pekerjaan, perawatan tanaman, pemupukan, panen, dan hasil penjualan. 

Dalam banyak kasus, hasil dari pertanian kelapa sawit mungkin tidak cukup untuk mengimbangi biaya-biaya yang terlibat. Meskipun lahan yang masih luas dan berhutan belantara, seperti yang ada di Kalimantan dan Papua, dianggap lebih cocok untuk pertanaman kelapa sawit, namun terdapat sejumlah kendala yang harus dihadapi. 

Ketersediaan tenaga kerja yang memadai, masalah sosial terkait dengan kepastian kepemilikan lahan, serta infrastruktur yang masih sangat terbatas merupakan faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan.

Hal yang tidak kalah penting adalah perlindungan terhadap hutan belantara yang masih tersedia di Papua tidak hanya menjadi pertimbangan etis, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap keberlanjutan lingkungan. 

Memahami perkembangan industri kelapa sawit secara global juga penting untuk melihat tren dan dampaknya terhadap ekonomi, lingkungan, dan masyarakat lokal. 

Moratorium Melindungi Manusia Sekitar dan Lingkungan

Moratorium perkebunan kelapa sawit memiliki keterkaitan yang penting dengan kesejahteraan masyarakat sekitar dan kelestarian lingkungan. 

Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi hutan primer dan lahan gambut yang vital bagi ekosistem global, tetapi juga memainkan peran kunci dalam perlindungan hak-hak masyarakat lokal terhadap tanah mereka. 

Dengan mengatur ekspansi perkebunan kelapa sawit, moratorium membantu mencegah konflik lahan dan memastikan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat. Moratorium ini mengurangi dampak negatif seperti deforestasi, degradasi tanah, dan pencemaran lingkungan yang sering kali terkait dengan industri kelapa sawit yang tidak terkendali. 

Dalam konteks ini, moratorium tidak hanya tentang pelestarian alam, tetapi juga tentang memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial berjalan sejalan dengan pelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.

Masyarakat Sekitar Perlu Mengawasi

Hukum dan peraturan terkait moratorium perkebunan kelapa sawit yang bertujuan baik telah ada. Namun, seringkali keserakahan manusia menyebabkan pelanggaran terhadap kebijakan ini.

Di daerah lokus perkebunan kelapa sawit baru akan dibuka, penting bagi masyarakat sekitar untuk mengawasi dan mempertanyakan aspek legalitas serta "niat baik" perusahaan dalam menerapkan standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan dampak efek domino kehadirannya.

Masyarakat perlu memastikan bahwa perusahaan tidak hanya mematuhi semua persyaratan hukum dan lingkungan yang berlaku, tetapi juga menjalankan tanggung jawab sosial mereka secara penuh. Hal ini termasuk memantau secara ketat proses perizinan dan implementasinya oleh pihak berwenang.

Penting memastikan bahwa perusahaan benar-benar berkomitmen untuk mengurangi dampak lingkungan dan sosial dari operasinya. Ini kewajiban. Dan tidak boleh diabaikan.

Dengan melakukan hal ini, kita dapat memastikan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berjalan sejalan dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial masyarakat secara luas.

Aspek trickle down effect perkebunan sawit

Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan "trickle down effect" atau efek penularannya, yaitu bagaimana kehadiran perusahaan kelapa sawit tersebut akan memengaruhi kesejahteraan dan penghidupan masyarakat lokal secara keseluruhan.

Masyarakat harus diberdayakan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, memastikan bahwa manfaat ekonomi dari kehadiran perusahaan dirasakan secara adil dan berkelanjutan oleh mereka yang paling terpengaruh.

Pemberdayaan dan peran-serta dari masyarakat sekitar kebun sawit ini adalah pangkal-mula dari ujud kehadiran sawit yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar, atau yang dalam bahasa "orang pintar" disebut sebagai trickle down effect.

Tanpa pemberdayaan, kesertaan, serta dampak langsung sawit bagi masyarakat; maka eksistensi sawit itu: buruk!

Pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif dari masyarakat sekitar sangat penting untuk memastikan bahwa industri kelapa sawit dapat beroperasi secara bertanggung jawab.

Hanya dengan pengawasan yang ketat, eksistensi sawit sesuai dengan tujuan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial yang diinginkan oleh kebijakan moratorium. Sebab praktik selama ini terjadi, perusahaan sawit begitu mendapatkan lahan untuk berusaha, lupa dengan segala tanggung jawab dan janjinya dahulu kepada masyarakat.

(Rangkaya Bada)

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post