Sawit, Emas Hijau Primadona Industri di Indonesia



Sawit kini. Rempah-rempah di masa lampau. Itulah Indonesia. Suatu negeri yang menjadi rebutan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa, untuk dikuasai hasil perkebunannya yang bikin kaya.

Sejarah perkebunan dan tanam-paksa di Nusantara tidak mencatat keberadaan perkebunan sawit. Perkebunan telah lama ada di Indonesia sejak zaman kolonial dan dikenal luas di masyarakat, terutama di pedesaan, seperti perkebunan karet dan kopi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Perkebunan merupakan warisan kolonial yang masih relevan hingga saat ini.


Sawit Sang Primadona

Indonesia memiliki beragam sistem tanam, salah satunya adalah sistem tanam monokultur yang umum digunakan dalam budidaya perkebunan. Perkebunan sawit, yang pertumbuhannya signifikan dalam dua dekade terakhir, menerapkan sistem monokultur karena menghasilkan tanaman yang optimal dan menguntungkan secara ekonomi. Sistem monokultur umumnya digunakan untuk pertanian skala besar di lahan yang luas, sehingga penerapannya pada perkebunan sawit tidaklah mengherankan.

Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, memiliki lahan yang luas untuk pertanian dan perkebunan, sebuah anugerah yang perlu dikelola dengan baik dan bertanggung jawab. Namun, pengelolaan ini tidaklah mudah, terutama ketika perkebunan dengan hasil yang menguntungkan mendorong ekspansi dan perluasan lahan. Ekspansi ini harus dikelola dengan cermat dan bertanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan sosial.


Pemerintah Indonesia dan Perluasan Lahan Perkebunan Sawit

Pemerintah Indonesia telah menggalakkan perluasan lahan perkebunan yang disambut baik oleh investor untuk menanamkan modalnya. Menurut survei dari Enviromarket Research pada tahun 2010, sekitar 307 perusahaan publik dari seluruh dunia telah menginvestasikan total US $ 82 miliar di sektor minyak sawit global. Pada tahun 1997, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menyetujui lebih dari 600 proyek investasi perkebunan kelapa sawit dengan luas total 8,7 juta hektar senilai US $ 23,6 miliar.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) telah menjadi salah satu komoditas perkebunan terbesar di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Tanaman ini berasal dari keluarga palmae dan dikenal sebagai penghasil utama minyak kelapa sawit, yang permintaannya terus meningkat di pasar global.

Buah kelapa sawit memiliki dua jenis utama, yaitu crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO). CPO diperoleh melalui proses perebusan dan pemerasan serat buah, sedangkan PKO dihasilkan dengan memecah dan memeras inti biji yang terdapat dalam cangkangnya.

Kedua jenis minyak ini memiliki berbagai kegunaan yang luas. CPO digunakan sebagai minyak goreng, bahan pembuat sabun, mentega, lotion, pelembab, pelumas, dan sebagai bahan bakar nabati terbarukan. Sementara itu, PKO digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan parfum dan produk kosmetik lainnya.

Sejarah kedatangan kelapa sawit di Nusantara berawal pada tahun 1848, ketika Dr. Johannes Elias Teijsman membawa tanaman ini dari Royal Botanical Gardens di Pamlemousses, Pulau Mauritius, di wilayah Afrika Barat yang berdekatan dengan Teluk Guinea. Nama Latin Elaeis guineensis dipilih untuk menghormati asal-usulnya yang cantik dan serbaguna dari Teluk Guinea.

Pulau Mauritius sendiri terkenal sebagai tujuan liburan yang eksotis dengan pantai yang landai dan penuh keindahan alam, termasuk tumbuhnya berbagai pohon kelapa dan palma, termasuk kelapa sawit yang kita kenal saat ini.


Jasa Dr. Johannes Elias Teijsman

Kita berhutang budi kepada Dr. Johannes Elias Teijsman atas kontribusinya membawa kelapa sawit ke tanah air tercinta. Tanaman ini pertama kali ditanam di Buitenzorg, Bogor, yang kini dikenal sebagai Bogor, menjadi basis perkebunan kelapa sawit di Nusantara. Dari sini, kelapa sawit menyebar ke Sumatera, Borneo (Kalimantan), dan juga wilayah Malaysia, menghiasi pemandangan dengan perkebunan teratur yang tersebar di sepanjang jalan raya seperti Tebedu-Kuching di Malaysia, dengan jarak tanam ideal 8 x 9 meter.

Kelapa sawit, dikenal sebagai "emas hijau", memainkan peran penting dalam ekonomi dan keberlanjutan lingkungan di kawasan ini. Meskipun perkembangannya telah memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, tantangan terus muncul terkait dengan pengelolaan lahan, keberlanjutan lingkungan, dan integrasi masyarakat lokal dalam industri ini.

Kelapa sawit telah menjadi contoh nyata tentang bagaimana suatu tanaman asing bisa mengakar dalam budaya dan ekonomi Indonesia. Dari awalnya diperkenalkan oleh Dr. Johannes Elias Teijsman pada tahun 1848, kelapa sawit telah berhasil beradaptasi dengan baik di lingkungan alam dan bumi Indonesia. Tanaman ini tidak hanya tumbuh subur tetapi juga menjadi salah satu identitas penting dalam sektor perkebunan negara ini. Ditumbuhkembangkan dengan penuh perhatian, kelapa sawit tidak hanya dipupuk dan dipelihara, tetapi juga menghasilkan buah yang melimpah untuk kemakmuran negeri.

Pola kepemilikan kelapa sawit di Indonesia sangat bervariasi. Selain kebun sawit mandiri yang berkembang pesat di berbagai wilayah sebagai industri perkebunan skala kecil dan menengah, ada juga fenomena menarik di mana beberapa perusahaan, kelompok, dan individu mendirikan pabrik pengolahan sawit tanpa memiliki kebun sawit sendiri. Mereka mengandalkan hasil produksi dari petani dan masyarakat lokal. 

Partisipasi aktif masyarakat dalam sektor ini merupakan hal yang patut diapresiasi karena tidak hanya mengurangi kesenjangan sosial ekonomi tetapi juga meminimalisasi gejolak sosial. Dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek utama, bukan hanya sebagai objek, stabilitas sosial dapat terjaga dengan baik, memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat dari industri perkebunan sawit yang terus berkembang.

Sementara itu, perusahaan besar, khususnya yang terkategori sebagai Perkebunan Besar Swasta (PBS), terus berupaya melakukan revitalisasi perkebunan. Upaya ini melibatkan berbagai pihak terkait seperti petani, penduduk setempat, koperasi, dan pemilik lahan usaha sehamparan. Koperasi primer yang berbadan hukum juga turut serta sebagai mitra, memastikan bahwa manfaat ekonomi dari industri ini tersebar secara adil di antara semua pihak terlibat. Dengan demikian, revitalisasi perkebunan tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga memperkuat integrasi sosial dan ekonomi di komunitas sekitarnya.

Perusahaan besar, terutama yang termasuk dalam kategori Perkebunan Besar Swasta (PBS), memainkan peran utama dalam industri kelapa sawit di Indonesia. Mereka telah melakukan berbagai upaya revitalisasi perkebunan untuk meningkatkan produktivitas dan memastikan keberlanjutan lingkungan serta keadilan sosial ekonomi di sekitar mereka. Revitalisasi ini tidak hanya melibatkan pihak internal perusahaan tetapi juga berbagai stakeholder eksternal seperti pekebun/petani, penduduk setempat, koperasi, dan pemilik lahan usaha di sekitar perkebunan.

Pihak-pihak terkait tersebut diintegrasikan secara holistik dalam upaya peningkatan produktivitas dan keberlanjutan. Koperasi primer yang berbadan hukum dijadikan mitra strategis untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dari perkebunan sawit dapat tersebar dengan adil di masyarakat lokal. Kolaborasi ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi tetapi juga membangun stabilitas sosial di daerah sekitar perkebunan.


Pola Kepemilikan Lahan

Selain itu, pola kepemilikan lahan juga sedang dibenahi untuk memastikan bahwa Izin Hak Guna Usaha (HGU) diberikan secara transparan dan adil kepada pemilik lahan. Pola kemitraan dengan masyarakat, khususnya melalui sistem plasma, juga sedang mengalami reformasi untuk meningkatkan kejelasan dan manfaat yang saling menguntungkan. Sistem plasma sebelumnya sering dianggap merugikan bagi petani karena hanya sebagian kecil dari lahan mereka yang benar-benar dikelola secara optimal, sementara sebagian besar lahan dibiarkan tidak termanfaatkan dengan baik.

Perbaikan dalam sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa petani dan pemilik lahan mendapatkan manfaat yang adil dari usaha perkebunan sawit, sambil menjaga keberlanjutan lingkungan dan meminimalkan ketimpangan sosial. Upaya-upaya ini menjadi penting dalam membangun industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi, sambil memastikan bahwa semua pihak terlibat merasa dihargai dan tidak dirugikan dalam jangka panjang.

Petani plasma di seluruh Indonesia sering kali merasa tersisihkan dan lemah dalam struktur industri kelapa sawit. Mereka berada dalam posisi yang bergantung pada perusahaan-perusahaan besar yang memiliki perkebunan inti. Pemilik perusahaan ini tidak hanya berperan sebagai pemain utama yang mengontrol dan mengambil keuntungan yang besar, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang dominan.

Pada awalnya, konsep "Kebun Plasma Pola Kemitraan" dijanjikan sebagai solusi yang menyenangkan bagi petani plasma. Namun, dalam praktiknya, banyak petani plasma yang merasa bahwa janji-janji tersebut tidak terpenuhi dan mereka merasa dirugikan dalam berbagai aspek, mulai dari pembagian keuntungan hingga perlakuan yang tidak adil dalam manajemen lahan.

Akibatnya, ketidakpuasan ini telah menciptakan ketegangan sosial yang semakin meningkat, tercermin dari demonstrasi dan protes yang terjadi di berbagai tempat. Petani plasma menuntut keadilan dalam perlakuan dan pembagian hasil, serta perbaikan dalam sistem kemitraan agar lebih menguntungkan bagi mereka.

Fenomena ini tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi juga mencuat ke level nasional, tergambar dari liputan media yang intens dan perdebatan di berbagai forum publik. Konflik antara petani plasma dan perusahaan perkebunan inti menjadi tantangan serius dalam upaya membangun hubungan yang berkelanjutan dan adil di sektor kelapa sawit.

Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak terlibat untuk duduk bersama dan mencari solusi yang memenuhi kebutuhan bersama, memastikan bahwa petani plasma mendapatkan perlindungan yang layak dan adil dalam sistem kemitraan yang baru. Langkah-langkah ini tidak hanya diperlukan untuk menciptakan perdamaian sosial, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan berdaya saing di Indonesia.

Dalam konteks Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, persoalan yang paling mencuat adalah terkait dengan lahan perkebunan, terutama dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RUTRW). Masalah ini sering kali berujung pada konflik sosial yang kompleks. Lahan yang diatur dalam RUTRW sering kali menjadi sumber perselisihan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal, terutama terkait kepemilikan yang tumpang tindih dan klaim masyarakat adat setempat yang sering kali terganggu atau dirugikan oleh ekspansi perkebunan.


Sumber Daya Manusia Lokal 

Selain itu, persoalan sumber daya manusia (SDM) dan tenaga kerja di perkebunan sawit skala besar juga menjadi perhatian. Kehadiran perusahaan sawit sering kali dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat setempat dalam berbagai aspek kehidupan. Perusahaan-perusahaan besar ini sering dilihat sebagai kekuatan asing yang mendominasi wilayah lokal, dengan dampak yang meluas tidak hanya secara ekonomi tetapi juga sosial, budaya, agama, dan politik. Kolaborasi antara perusahaan besar dan penguasa lokal kadang-kadang menyebabkan hegemoni yang menekan masyarakat setempat, menciptakan bentuk neo-kolonialisme atau bahkan post-kolonialisme dalam konteks ekonomi modern.

Salah satu contoh nyata dari bentuk post-kolonialisme ini adalah minimnya partisipasi masyarakat setempat dalam manajemen perusahaan. Mayoritas pekerja dari level manajemen ke atas tidak berasal dari masyarakat lokal, yang sering kali hanya terlibat dalam posisi-posisi pekerjaan yang rendah seperti sekuriti, pekerja rumah tangga, atau mandor lapangan. Kurangnya keterlibatan ini memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di wilayah tersebut, memperdalam kesenjangan antara pengusaha dan masyarakat setempat.

Kesimpulannya, kehadiran perusahaan perkebunan skala besar, khususnya sawit, tidak hanya membawa dampak ekonomi tetapi juga menyulut kompleksitas sosial yang besar. Perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dan inklusif dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat secara adil dan berkelanjutan.

Pada periode 1999 hingga 2001, pemerintah Indonesia meluncurkan kebijakan desentralisasi yang memberikan lebih banyak kekuasaan kepada pemerintah daerah dan pemimpin lokal. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan responsivitas pemerintahan serta memperkuat otonomi daerah. Namun, hasilnya tidak selalu sesuai harapan.

Salah satu dampak dari kebijakan desentralisasi ini adalah peningkatan komitmen pemerintah daerah untuk memperluas areal perkebunan kelapa sawit. Meskipun sebagian besar target ini diimplementasikan melalui kebijakan yang lebih fleksibel atau "kebijakan lunak", banyak kabupaten yang justru mengalihkan sebagian besar wilayah mereka untuk disewakan kepada perusahaan perkebunan sawit, sering kali mencapai 40 hingga 50% dari wilayah kabupaten. Hal ini terjadi dalam waktu singkat setelah periode Reformasi 1999 di Indonesia.

Namun, untuk memastikan efektivitas dari kebijakan desentralisasi ini, penting adanya peran aktif masyarakat dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaannya. Tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pengambilan keputusan yang tidak transparan dapat meningkat.


Masalah Serius Terkait Kebijaksanaan Sawit

Ada pula beberapa tantangan lain yang perlu diatasi dengan serius.

Pertama, perlunya kebijakan yang lebih ramah lingkungan dalam pengelolaan kelapa sawit untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. 

Kedua, sengketa tanah antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal harus diselesaikan dengan jelas dan adil, terutama terkait kepemilikan tanah yang sering kali tidak jelas. 

Ketiga, perlu adanya reformasi hukum dan peraturan yang lebih pasti untuk mengurangi ketidakpastian di bidang hukum. Keempat, biaya logistik yang tinggi perlu ditangani dengan peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur yang mendukung.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis yang lebih baik dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang. 

Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa kebijakan desentralisasi benar-benar membeikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak yang terlibat.

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post