Sawit: Emas Hijau dalam Dinamika Politik Ekonomi

Sawit: emas hijau yang diperebutkan banyak pihak. Kredit foto: Rangkaya Bada.


Empat kata kunci dalam judul tulisan ini—sawit, emas hijau, alat politik ekonomi, dan diperebutkan—telah menjadi fokus diskusi dan perdebatan yang intens. 


Dalam konteks ini, penting untuk memahami mengapa istilah "kaya" dipilih dalam pembahasan tentang sawit. Istilah ini tidak hanya merujuk pada aspek material, tetapi juga mencerminkan harapan dan cita-cita bangsa menuju kesejahteraan yang merata.


Sawit salah satu komoditas unggulan Indonesia

Sawit, sebagai salah satu komoditas unggulan Indonesia, diibaratkan sebagai "emas hijau" karena potensi ekonominya yang luar biasa. Keberadaan sawit tidak hanya memberikan keuntungan finansial, tetapi juga berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. 


Dalam kerangka ini, sawit dapat dilihat sebagai alat untuk mencapai kekayaan yang lebih luas, bukan hanya bagi individu atau kelompok tertentu, tetapi juga untuk keseluruhan masyarakat.


Namun, sawit juga berfungsi sebagai "alat politik ekonomi" yang sering diperebutkan oleh berbagai pihak. Dalam persaingan global dan domestik, banyak kepentingan yang berusaha menguasai sumber daya ini, dari pengusaha besar hingga petani kecil. Ketegangan antara berbagai pemangku kepentingan ini menciptakan dinamika yang kompleks, di mana sawit tidak hanya menjadi komoditas, tetapi juga simbol dari konflik kepentingan.


Dengan demikian, konsep "kaya" dalam konteks sawit mencakup lebih dari sekadar kekayaan material. Ia mencerminkan cita-cita untuk menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Dalam upaya mencapai tujuan ini, tantangan yang dihadapi sangat beragam, mulai dari isu keberlanjutan lingkungan hingga konflik lahan. Semua ini menuntut perhatian dan kerjasama dari semua pihak untuk memastikan bahwa sawit dapat terus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sambil menjaga integritas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. 


Dengan mengaitkan empat kata kunci tersebut—sawit, emas hijau, alat politik ekonomi, dan diperebutkan—kita dapat melihat gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana komoditas ini berfungsi dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: dapatkah sawit memenuhi harapan menjadi sumber kekayaan yang berkelanjutan, atau justru akan terus menjadi arena perebutan kepentingan yang merugikan banyak pihak?


Dalam upaya mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila—apakah kekayaan materi adalah satu-satunya jalan? Dalam konteks global, istilah "kaya" tidak selalu mendominasi. 


Sebaliknya, istilah seperti negara maju (advanced countries), terbangun (developed countries), serta pembagian geografis antara negara-negara Barat dan Selatan (West and South Countries) lebih sering digunakan. Dalam hal ini, "kaya" baru sesekali digunakan untuk merujuk pada negara-negara kaya (rich countries).

Kata "kaya" dalam konteks ini mencerminkan cita-cita menuju Indonesia Emas, yang diharapkan dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas. 


Pada tahun 2045, cita-cita Indonesia adalah menjadi negara maju, terbangun, dan berpendapatan tinggi. Namun, pertanyaannya adalah: sebagai negara agraris, apakah Indonesia benar-benar mampu mencapai kekayaan tersebut? Negara-negara maju telah berhasil menjadi kaya berkat industri yang kuat. Namun, kita harus ingat bahwa negara-negara maju saat ini juga merupakan negara agraris yang kokoh. 


Dengan masalah agraria yang belum sepenuhnya terpecahkan, tampaknya sulit bagi Indonesia untuk menjadi negara yang sukses secara industri dan sekaligus mempertahankan basis agraris yang solid.


Posisi sawit di kancah global

Sawit Indonesia saat ini merupakan juara dunia—hampir 35% dari total minyak nabati global bergantung pada komoditas ini. Pertanyaannya: mungkinkah kita dapat mempertahankan posisi juara ini dalam jangka panjang? Mengingat bahwa kita pernah menjadi juara dalam komoditas lain seperti tebu, kayu, karet, kelapa, rempah-rempah, kopi, teh, kina, dan coklat, ada keprihatinan yang mendalam mengenai ketahanan komoditas kita. Mengapa komoditas kebun tropis kita tidak dapat lestari? Apakah sawit juga akan mengalami nasib serupa? Keraguan ini semakin mengemuka dan memerlukan perhatian serius.


Sawit telah menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan perekonomian nasional. Namun, tantangan yang dihadapi sangat kompleks. Dalam konteks keberlanjutan, kita harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari penanaman sawit. Kerusakan hutan, konflik lahan, dan isu-isu ketenagakerjaan menjadi sorotan utama yang harus diselesaikan jika kita ingin terus bersaing di pasar global. Oleh karena itu, kita perlu mencari solusi yang tidak hanya menguntungkan ekonomi, tetapi juga berkelanjutan dan adil bagi masyarakat.


Sawit sebagai alat politik ekonomi

Dalam aspek alat politik ekonomi, isu sawit semakin berkembang pesat. Kini, sawit bukan hanya sekadar urusan agronomi, morfologi, atau hilirisasi; ia telah bertransformasi menjadi alat politik ekonomi, baik di tingkat domestik maupun global. Secara spesifik, sawit adalah komoditas penting yang dikelola oleh berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan, tetapi penanggung jawab utama atau koordinator yang jelas masih belum ada. Dalam praktiknya, para pengusaha besar sering kali berkoordinasi dalam persaingan mereka melalui organisasi seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).


Belakangan ini, petani sawit swadaya dan plasma juga berupaya memperjuangkan kepentingan mereka melalui Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Namun, perjuangan ini tidak terbatas pada dua organisasi besar tersebut. Masih banyak organisasi lain yang berusaha membela kepentingan sawit. Ironisnya, alih-alih bersinergi, seringkali organisasi-organisasi tersebut justru saling berebut pengaruh, di mana sawit sebagai komoditas menjadi korban dari persaingan tersebut. Ini menciptakan dilema yang kompleks dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan dan keberlanjutan bagi para petani.


Salah satu isu yang belum banyak dibahas adalah perebutan lahan untuk tanaman sawit. Media massa belakangan ini ramai membicarakan tumpang tindih antara lahan sawit dan kawasan hutan, yang diperkirakan mencapai 25% dari total tanaman sawit di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mencari akar masalah dan solusi untuk menyelesaikan perebutan ini—agar kita dapat benar-benar menjadi kaya melalui sawit. Jika tidak segera diatasi, kapan lagi kesempatan itu akan datang?


Keseluruhan dinamika yang melibatkan sawit mencerminkan tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia. Dalam usaha untuk menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi, keberlanjutan industri sawit harus menjadi prioritas. 


Untuk itu, semua pemangku kepentingan—baik pemerintah, pengusaha, maupun petani—perlu bersatu dalam menciptakan ekosistem yang saling mendukung. Hanya dengan cara ini, cita-cita menuju Indonesia Emas dapat tercapai, dan sawit benar-benar dapat menjadi pendorong utama perekonomian yang adil dan berkelanjutan. Jika kita tidak segera mengambil langkah yang tepat, kekayaan yang dijanjikan oleh sawit mungkin akan tetap menjadi impian belaka.

-- Petrus Gunarso

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post